Sarasehan budaya Babad Tutur Bhumi Dirja Melacak Jejak Sultan Agung yang dilaksanakan di Dusun Babahan Karangtalun Imogiri dengan menghadirkan dua Narasumber.
Minggu, (5/9/21) panitia Festival Imogiri 2 di dukung Institute Kahade, Sekolah Purbakala Yayasan Warisan Budaya Mataram Pleret, yayasan Indonesia Rumah Kebhinekaan, dan Teater Payung Imogiri menyelenggarakan sarasehan budaya Babad Tutur Bhumi Dirja Melacak Jejak Sultan Agung, seperti disampaikan ketua panitia sarasehan Sigit Sugito “mengingat musim pandemi kita mengikuti aturan dan protokol kesehatan dengan batas undangan tigapuluh tamu undangan saja sebagai syarat melaksanakan sarasehan budaya seperti pada hari ini bahwa dengan sarasehan membuka cakrawala budaya dapat mengedukasi masyarakat akan sejarah babad Kebumen asal usul kota Kebumen, hari ini ambil satu kegiatan yang sudah kami jalankan pada tahun 2007 dengan Festifal 1, tujuannya agar kegiatan budaya tidak lepas dan kegiatan ini sebagai pemantik awal agar kegiatan selanjutnya bisa terwujud dan dilaksanakan. Rencana agenda Festival Imogiri salahsatunya menyelenggarakan nyadran agung di Imogiri yg diharapkan bisa dihadiri dari empat kraton , Kasunanan Solo, Kasultanan Yogya, Puro Mangkunegaran dan Puro Pakualaman .dan terimakasih atas kerjasamanya juga dari media Djokolodang telah hadir mengikuti dan nantinya ikut mensiarkan memperkrnalkan kegiatan lewat media”. Tuturnya.
Ir. Nardi Untoro dari Yayasan Warisan Mataram Plered menuturkan secara gamblang pada acara Sarasehan budaya Melacak Jejak Sultan Agung, dari Babad Kebumen,perjalanan Pangeran Bumidirjo sampai di panjer roma begitu jelas. Dalam paparan menyampaikan “Pertemuan sore ini terlaksana dengan niat ibadah napak sejarah para leluhur ngaluhur, dan merefleksi sejarah perjalanan yang didukung oleh data ontetik agar supaya tidak ada pembelokan, Babad Tutur Bhumi Dirja Melacak Jejak Sultan Agung Hanyokrokusumo dan situs pendukung sebagai bahan argumentasi”.jelasnya.
Dr. Amiluhur Soeroso dari Yayasan Indonesia Rumah Kebhinekaan, yang selain memaparkan sejarah juga menuturkan “Petuah pada Kitab Sastragending sangat menyentuh bahwa hidup itu harus sederhana dan beretika dalam memimpin, orang harus bekerja keras jangan malas, suka memberi atau bersedekah, tidak adigang adigung adiguna, dan ojo dumeh. Saat Sultan Agung bertahta dengan syiar keagamaan, banyak sekali perubahan yang terjadi pada saat itu dan masih digunakan sampai saat ini, seperti adanya kalender saka jawa dan selain itu tentunya juga peninggalan artefak-artefak bersejarah lainnya. Petuah karya lainpun yang relevan dengan kehidupan saat sekarang ini adalah persatuan dan kesatuan Indonesia, karya batik dengan motif klasik yang terkait dengan pahatan pada relief di Candi Borobudur, sampai dengan makanan di Abad tujuh yang masih dikonsumsi hingga kini, sebagai pendekatan fisik non fisik. Budaya tersebut akan punah, jika dari generasi ke generasi tidak mencatat dan mau memakainya lagi dengan baik”, pungkasnya.
Akhir acara sarasehan dengan foto bersama panitia dan narasumber serta owner angkringan anget-anget.